BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT): LEMBAGA KEUANGAN MIKRO ATAU KOPERASI?
Unknown
09.56
0
Oleh:
Wawan Andriyanto, S.H.
(Dewan
Pengawas Syariah pada Koperasi GEMI, Associate
Lawyer pada SAFE Law Firm Yogyakarta)
|
A.
BMT sebagai Konsep Lembaga Pengelola Keuangan
Islam
BMT selama
ini adalah lembaga pengelola keuangan yang sedang mencari bentuk yang pas dalam
sistem regulasi lembaga keuangan di Indonesia. Dalam sistem regulasi, BMT ini
dipayungi oleh 2 (dua) jenis lembaga ekonomi, yakni Lembaga Keuangan Mikro dan
Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam.
Literatur yang membahas tentang BMT tergolong sangat sedikit. Diketahui bahwa lembaga ini muncul sebagai konsep lembaga keuangan syariah di Indonesia, di luar sistem perbankan.
Berikut ini
beberapa konsep BMT menurut literatur yang berkembang di Indonesia.
1.
BMT adalah lembaga ekonomi syariah, yang
mendasarkan prinsip-prinsip kegiatannya kepada prinsip-prinsip syariah.
Hal ini terlihat dari tujuan BMT sebagai berikut:
a.
Mengamalkan ajaran al-Quran, tentang prinsip
tolong menolong, memberantas kemiskinan umat, mendorong kemajuan ekonomi mikro,
mendidik orang Islam agar bekerja dengan manajemen yang baik, penuh kejujuran
dan bisa dipercaya.
b.
memakmurkan masjid dengan mengajak nasabah BMT
untuk ikut sholat berjamaah di masjid.
c.
menjalin kerjasama, saling membantu
meningkatkan/ usaha antara yang mampu dengan yang membutuhkan.
d.
mendidik nasabah rajin membuat catatan utang
serta jujur dan disiplin dalam mencicil utang.
e.
mengajak orang Islam secara ikhlas mengeluarkan
zakat, infaq, sedekah sesuai kemampuan.[1]
Dari
tulisan di atas, BMT memiliki 3 (tiga) semangat, yakni semangat menjalankan
ajaran agama (dimensi dakwah Islam), berbisnis mencari keuntungan secara
syariah (dimensi ekonomi), dan membangun kepedulian sesama (dimensi sosial).
Ahmad Mudjahidin dalam tulisan
Neni Sri Imaniyati menekankan prinsip-prinsip bisnis ekonomi syariah:
a.
Pelarangan riba;
b.
Pencegahan gharrar
dalam perjanjian;
c.
Pelarangan usaha untung-untungan/gambling;
d.
Praktik jual beli atau dagang;
e.
Pelarangan perdagangan komoditas terlarang.[2]
2.
BMT adalah lembaga gabungan antara baitul maal (lembaga pengumpul dan
penyalur dana-dana social) dan bait at
tamwil (lembaga usaha simpan pinjam dan pembiayaan)
Pada
masa sekarang, BMT sebagai salah satu bentuk lembaga keuangan mikro, memiliki
dua kelebihan. Pertama, BMT merupakan baitul maal yang salah satu kegiatannya
berupa penggalangan dan pendayagunaan dana Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS).
Penggalangan dana ZIS akan semakin besar, ketika BMT mampu mengelolanya secara
amanah dan profesional.
Dengan
kepercayaan yang semakin tinggi, diharapkan akan semakin banyak donatur dan
masyarakat yang memanfaatkan jasa BMT. Dari sisi pendayagunaan, berbagai
program kreatif sangat dimungkinkan untuk dibiayai dari sumber dana ZIS ini,
antara lain: (1) Pengembangan sumberdaya manusia (SDM) (2) Pengembangan
ekonomi, perbaikan mutu kesehatan, serta santunan guna memenuhi kebutuhan
pokok. Makin besar dana ZIS yang dikelola BMT, maka makin besar pula
kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan. Dalam kondisi seperti ini, BMT
dapat mendirikan Lemabag Amil Zakat (LAZ) guna mengelola dana ZIS secara lebih
profesional. Peningkatan peran ini bukan berarti menghilangkan fungsi baitul
maal pada BMT karena ini bisa dijembatani dengan mendesain sistem sinergi
antara LAZ dan BMT.
Kedua,
BMT merupakan baitut tamwil. Dalam hal ini fungsi BMT persis sama dengan
perbankan dengan orientasi meraih profit yang optimal. Konsekuensinya, sistem
operasional BMT harus menjalankan prinsip profesional. Dalam keadaan ini, karyawan
akan dituntut kemampuan entrepeneurship yang tinggi. Dalam melakukan pembiayaan
juga harus memperhatikan faktor-faktor peluang dan resiko bisnis, sehingga
peningkatan pendapatan dapat dirasakan kedua belah pihak baik BMT maupun
nasabahnya.[3]
3.
BMT adalah lembaga keuangan yang berbeda
dengan Bank
Sebagai
bentuk lembaga Keuangan syariah non bank, BMT mempuyai ciri-ciri utama yang
membedakannya dengan lembaga Keuangan bank. Menurut A.Djazuli, Yadi Janwari dan
Andri Soemitra, cirri utama BMT adalah;
a.
Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi, terutama
untuk anggota, dan lingkungannya.
b.
Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan
untuk mengaktifkan penggunaan dana-dana sosial untuk kesejahteraan orang banyak
serta dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk memberdayakan anggotanya
dalam rangka menunjang kegiatan ekonomi.
c.
Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta
masyarakat sekitarnya.
d.
Milik bersama masyarakat kecil, bawah dan
menengah, yang berada dilingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang
atau orang lain dari luar masyarakat itu.[4]
Dari
uraian di atas dapat memberikan gambaran bahwa BMT mempuyai dua peran
sekaligus.Pertama sebagai lembaga yang terbentuk atas inisiatif dari bawah, BMT
melakukan fungsinya sebagai mobilisator potensi ekonomi masyarakat untuk
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota.Dalam hal ini BMT
berkedudukan sebagai organisasi bisnis.Kedua adalah fungsi BMT sebagai
organisasi yang juga berperan sosial, yaitu menjadi perantara antara agniya
sebagai shahibul maal (orang yang mempuyai harta yang berlebihan) dengan dua’fa
(orang yang kekurangan harta) sebagai mudharib (pengguna dana) terutama untuk
pengembangan usaha produktif.[5]
4.
BMT memiliki cirri khas
Sedangkan
ciri khas BMT adalah:
a.
Staf dan karyawan BMT bertindak aktif,
dinamis, berpandangan produktif,tidak menunggu tetapi menjemput nasabah, baik
sebagai penyetor dana maupun sebagai penerima pembiayaan usaha;
b.
Kantor dibuka dalam waktu tertentu dan ditunggui
oleh sejumlah staf yang terbatas karena sebagian staf harus bergerak ke
lapangan untuk mendapatkan nasabah penyetor dana, memonitor dan mensupervisi
usaha nasabah;
c.
BMT mengadakan pengajian rutin secara berkala
yang waktu dan tempatnya – biasanya di madrasah, mesjid, dan mushala –
ditentukan sesuai dengan kegiatan nasabah dan anggota BMT, setelah pengajian
biasanya dilanjutkan dengan perbincangan bisnis dari para nasabah BMT;
d.
Manajemen BMT diselenggarakan secara
professional dan Islami.[6]
5.
Ciri-ciri BMT (oleh Muhammad Amin Aziz)
Muhammad
Amin Aziz dalam makalahnya yang berjudul Prospek BMT Berbadan Hukum Koperasi,
makalah pada Seminar Prospek BMT Berbadan Hukum Koperasi, Kerjasama PINBUK
dengan Departemen Koperasi dan PPK, Jakarta, 1995 menuliskan ciri-ciri BMT
adalag sebagai berikut:
a.
Usahanya dimaksud untuk mendorong sikap dan
perilaku menabung dari masyarakat banyak dengan menerima simpanan atas dasar
balas jasa berdasarkan bagi hasil; member pembiayaan usaha-usaha kegiatan
ekonomi dari Rp.100.000,00 sampai dengan Rp.1.000.000,00 atau lebih jika asset
BMT sudah cukup besar. Jika kegiatan simpan pinjam telah mantap dan lembaganya
telah bekerja dengan terkendali, dapat
melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi riel seperti pemasaran, pengembangan
teknologi tepat guna, serta kegiatan lain yang sangat erat kaitannya dengan
pengembangan usaha kecil-bawah di lingkungan itu, menerima titipan dan
pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah.
b.
Pengelolaannya secara professional persis
mengikuti administrasi pembukuan dan prosedur perbankan (namun bukan lembaga
perbankan) dengan kekecualian tidak mengharuskan pakai jaminan uang atau harta
benda untuk jumlah pinjaman yang kecil (misalnya di bawah Rp.500.000,00);
manajemen dilatih dari personil yang paling rendah berpendidikan D3 dan
mengenal calon lingkungan kerjanya, mengikuti sistem dan prosedur kerja ang
telah dipersiapkan petunjuk pelaksanaannya (pola operasi BMT); untuk
pengetahuan praktis bisa didapat dengan mengikuti pelatihan yang
diselenggarakan oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) minimum dua
minggu untuk tahap pertama;
c.
Modal awal untuk mendirikan BMT lebih kurang
antara Rp.20.000.000,00 dampai dengan Rp.50.000.000,00;
d.
Pendiri sebagai anggota inti. Terdapat
sekelompok orang (20-40 orang) d sekitar lokasi tempat didirikannya BMT yang
menjadi anggota iti yang diharapkan bersedia urunan modal awal (misalnya
masing-masing Rp.500.000,-; Rp.1.000.000,-; atau Rp.5.000.000,-) yang diangsur
dalam satu atau beberapa kali. Kelompok anggota inti ini diharapkan merasa memiliki
dan bertanggung jawab terhadap maju mundurnya BMT ini di kemudian hari;
e.
Biaya operasional sangat rendah, antara lain
karena kecilnya jumlah staf dan dapat beroperasi pada kondisi tidak mewah;
f.
Dalam operasi menggiatkan dan menjemput
berbagai jenis simpanan mudharabah,
demikian pula terhadap nasabah pembiayaan. Tidak hanya menunggu;
g.
Jaminannya adalah dengan mengutamakan
kepercayaan, rekomendasi tokoh setempat, dan/atau tanggung renteng, saling
kenal karena daerah operasinya tidak terlalu luas;
h.
Mitra operasi terintegrasi dengan lembaga
lokal, misalnya pengajian di lingkungan masjid dan pesantren. BMT mengadakan
pengajian rutin di samping membicarakan masalah-masalah keagamaan tetapi juga
membicarakan masalah-masalah muamalah termasuk perkembangan BMT dan usaha-usaha
masing-masing nasabah.
Dalam
melakukan pembiayaan, pengelola BMT harus menghindari pembiayaan sebagai
berikut:
a.
Pembiayaan yang tidak sesuai syariah;
b.
Pembiayaan yang penggunaan dananya tidak
sesuai syariah;
c.
Pembiayaan untuk spekulasi;
d.
Pembiayaan tanpa informasi keuangan yang
memadai;
e.
Pembiayaan pada bidang yang tidak dikuasai;
dan
f.
Pembiayaan pada anggota yang bermasalah.[7]
B.
BMT dalam Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia: Antara Regulasi dan Praktek
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, posisi BMT sesungguhnya
sudah cukup jelas, yakni BMT sebagai LKM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, dan menjadi kewenangan
Otoritas Jasa Keuangan. Hanyasaja, dalam prakteknya, BMT juga dapat didirikan,
dikelola, dan diawasi berdasarkan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.
Instansi pemerintah pusat yang berwenang adalah Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah dan Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
Bidang Perkoperasian.
Otoritas Jasa Keuangan dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah terkait dengan perizinan dan pengawasan penyedia jasa keuangan,
termasuk BMT. Adapun pembagian kewenangan tersebut di atas dapat diperiksa
dalam tabel sebagai berikut:
Jenis Usaha
|
Bentuk Badan Hukum
|
Izin Usaha
|
Syarat Modal Usaha
|
Pengawasan
|
Perbankan (UU Nomor 10 Tahun 1998 dan PP Nomor 29
tahun 1999
|
Perseroan Terbatas (PT)
Koperasi (Jenis Koperasi Jasa Keuangan/KJK)
|
Otoritas Jasa Keuangan
|
Bank Umum Rp.3 Trilyun
BPR:
- Kecamatan
Rp.4 milyar
- Kabupaten
Rp.6 milyar
- Provinsi
Rp.8 milyar
- Jakarta
Rp.14 Milyar
|
Otoritas Jasa Keuangan
|
Simpan Pinjam (UU Nomor 25 Tahun 1992/PP Nomor 9
Tahun 1995
|
Koperasi (Jenis Koperasi Simpan Pinjam, atau
Koperasi yang memiliki unit simpan pinjam), termasuk Koperasi Simpan Pinjam
dan Pembiayaan Syariah serta Koperasi yang memiliki Unit Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah
|
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
|
- Primer
Rp.15 juta
- Sekunder
Rp.50 Juta
|
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
|
Lembaga Keuangan Mikro (UU Nomor 1 Tahun 2013/PP
Nomor 89 Tahun 2014)
|
Perseroan Terbatas/PT
Koperasi (Jenis Koperasi Jasa LKM)
|
Otoritas Jasa Keuangan
|
- Tingkat
Desa Rp.50 Juta;
- Tingkat
Kecamatan Rp.100 juta
- Tingkat
Kabupaten Rp.500 juta
|
Otoritas Jasa Keuangan
|
Leasing, Factoring, Asuransi, Ventura, dan
Multifinance
|
Perseroan Terbatas/PT
Koperasi (Jenis Jasa)
|
Otoritas Jasa Keuangan
|
- Leasing
Rp.10 milyar;
- Factoring
Rp.10 milyar
- Asuransi
Rp.100 milyar
- Ventura
Rp.10 milyar
- Multifinance
Rp.200 milyar
|
Otoritas Jasa Keuangan
|
Tabel 1
Pembagian kewenangan antara OJK dengan Kementerian
Koperasi dan UKM[8]
Dari sini,
dapat kita lihat bahwa BMT sebagai lembaga keuangan syariah di Indonesia
terpecah menjadi kewenangan 2 (dua) lembaga Negara, yakni:
1.
BMT sebagai LKM, menjadi kewenangan Otoritas
Jasa Keuangan;
2.
BMT sebagai Koperasi Simpan Pinjam/Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah, menjadi kewenangan Kementerian Koperasi
dan UKM.
Adapun
uraian masing-masing adalah sebagai berikut:
1.
BMT sebagai LKM, menjadi kewenangan Otoritas
Jasa Keuangan (bersumber dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM)
Dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro disebutkan
beberapa ketentuan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa Lembaga
Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang
khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro
kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa
konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Dalam
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro dinyatakan bahwa Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Di sisi lain, dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2013 terdapat ketentuan bahwa Setiap orang yang menjalankan usaha LKM
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta
pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sementara dalam Pasal 34 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 dinyatakan bahwa dalam hal kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud
dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu
atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
Ketentuan-ketentuan
di atas masih ditambah lagi dengan ketentuan pada Pasal 39 yang berbunyi
sebagai berikut:
(1)
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,Badan Kredit Desa (BKD),
Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha
Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Baitul Tamwil
Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini berlaku.
(2)
Lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1
(satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.
(3)
Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih
Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku,
dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada
Undang-Undang ini.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, jelas terlihat bahwa
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) diposisikan sebagai Lembaga Keuangan Mikro/LKM,
yang wajib memperoleh dan memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 ini ada kriminalisasi terhadap setiap
orang atau badan hukum yang menjalankan usaha BMT tanpa izin dari Otoritas Jasa
Keuangan.
Konsekuensi dari BMT sebagai LKM adalah kewajiban BMT
untuk tunduk kepada ketentuan-ketentuan tentang Lembaga Keuangan Mikro dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan peraturan
perundang-undangan pelaksanaannya. BMT, baik yang telah berbadan hukum Perseroan
Terbatas atau Koperasi, maupun yang tidak berbadan hukum harus menyesuaikan
bentuk kelembagaan, sistem operasional, bidang usaha, permodalan, dan seluruh
aspek yang terkait dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dan
lembaga penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas terkait Lembaga Keuangan
Mikro.
2.
BMT sebagai Koperasi Simpan Pinjam/Koperasi
Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (bersumber dari praktek pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
oleh Koperasi, serta dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah)
Dalam
praktek, ada peraturan perundang-undangan di Indonesia selain Undang-Undang LKM
yang pada saat ini juga mengatur BMT, terutama BMT yang berbadan hukum Koperasi
dan memiliki izin usaha simpan pinjam. Pada saat ini, BMT tunduk kepada
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
oleh Koperasi, serta dipertegas dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Lampiran Huruf Q, mengatur:
a.
Kewenangan Pemerintah Pusat untuk pemberian
status badan hukum Koperasi;
b.
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan izin usaha
simpan pinjam, izin pendirian kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor
kas;
c.
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengawasan dan pemeriksaan
Koperasi, termasuk Koperasi yang memiliki izin usaha simpan pinjam;
d.
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penilaian kesehatan
Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan Pinjam Koperasi;
e.
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pendidikan dan pelatihan
perkoperasian; dan
f.
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pemberdayaan dan
perlindungan Koperasi.
Dalam
praktek, BMT dapat memilih, apakah menjadi LKM menurut Undang-Undang LKM atau
Koperasi Simpan Pinjam/ Unit Simpan Pinjam Koperasi/Koperasi Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah/Unit Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Koperasi.
Ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang LKM, prakteknya hanya ditujukan
untuk menanggulangi penyelenggaraan LKM tanpa izin sama sekali, dan tidak
ditujukan kepada BMT yang menjadi Koperasi Simpan Pinjam/ Unit Simpan Pinjam
Koperasi/Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah/Unit Simpan Pinjam dan
Pembiayaan Syariah Koperasi.[9]
[1] www.repository.uin-suska.ac.id,
diakses pada tanggal 11 Oktober 2015 pukul 14:55
[2]
Imaniyati, Neni Sri, Aspek-Aspek Hukum
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Perspektif Hukum Ekonomi. Makalah
Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, LPPM
Universitas Islam Bandung, tanpa tanggal, bulan dan tahun
[3]
Mulyaningrum, Dr., Baitul Maal Wat Tamwil
(BMT Peluang dan Tantangan dalam Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Makalah disajikan dalam Seminar on
Islamic Finance Theme: Opportunity and Challenge on Islamic Finance, Jakarta,
Indonesia. 6 Januari 2009, Bakrie School
of Management (BSM) and Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
[4]
Yusuf, Sri Dewi, Peran Strategis Baitul
Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat. Download dari www.portalgaruda.org pada tanggal 10
Oktober 2015
[5]
Yusuf, Sri Dewi, Peran Strategis Baitul
Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Peningkatan Ekonomi Rakyat. Download dari www.portalgaruda.org pada tanggal 10
Oktober 2015
[6]
Imaniyati, Neni Sri, Aspek-Aspek Hukum
Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam Perspektif Hukum Ekonomi. Makalah
Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, LPPM
Universitas Islam Bandung, tanpa tanggal, bulan dan tahun
[7]
Heriani, 2009. Perjanjian Pembiayaan dengan Sistem Bagi Hasil Melalui baitul
Maal Wattamwil Studi Pada Baitul Mall Wattamwil Washil Medan, Tesis pada
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara halaman
[8]
Wawancara dengan Ir.Kuswartono (Kepala Seksi Koperasi Disperindagkop DIY), 9
Oktober 2015
[9]
Wawancara dengan Ir.Kuswartono (Kepala Seksi Koperasi Disperindagkop DIY), 9
Oktober 2015