Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Ala Muhammad Yunus
Unknown
02.27
0
Oleh : Pera Soparianti
Satu lagi ide menarik dalam pemberdayaan perempuan, yaitu konsep Grameen Bank
ala Muhammad Yunus. Muhammad Yunus yang dilahirkan di Bathua Chittagong
ini, telah mengharumkan nama Bangladesh. Alumni Universitas Vanderbilt
Amerika tahun 1969 yang saat ini menjadi salah satu dosen ekonomi di
universitas Chittagong yang ada di Bangladesh telah merubah citra
Bangladesh yang merupakan salah satu Negara termiskin dunia, kini
dikenal sebagai Motherland of microfinance (ibu dari usaha kecil) yang sering juga disebut banking the unbankable
(bank yang tidak memberlakukan syarat-syarat bank). Sehingga tak salah
kalau Grameen Bank yang ia gagas membuatnya menerima Nobel Perdamaian di
bidang ekonomi pada 2006 lalu. Berbagai model pelayanan keuangan pada
masyarakat miskin dari Banglades ini telah direplikasi pada sekitar 40
negara (Asia Pasifik, Afrika, Amerika latin, dan Eropa).
Keberhasilan Yunus dalam keuletan dan
kegigihan mengembangkan teori Grameen Bank ini, tidak lepas dari
pengaruh yang kuat dari sosok ibunya. Anak ke tiga dari pasangan Dula
Mia dan Sofia Khatun ini banyak belajar dari sikap Ibunya yang keras dan
tegas. Ibunya sosok penegak disiplin dalam keluarga. Perhatian ibunya
kepada kaum miskin sangat besar, sehingga membuat Yunus tertarik
mempelajari ekonomi dan perubahan sosial.
Grameen Bank: Harapan bagi Survival Perempuan Miskin
Data Grameen Bank pada 2007, menunjukkan dari sekitar 7 juta orang miskin yang mendapatkan pinjaman di 73.000 desa Bangladesh, 97 persen di antaranya perempuan. Konsep Grameen Bank yang Yunus kembangkan sejak 1974 di Negara asalnya ini telah memberikan perubahan yang luar biasa dalam upaya menanggulangi kemiskinan yang mayoritas adalah kelompok perempuan.
Grameen Bank: Harapan bagi Survival Perempuan Miskin
Data Grameen Bank pada 2007, menunjukkan dari sekitar 7 juta orang miskin yang mendapatkan pinjaman di 73.000 desa Bangladesh, 97 persen di antaranya perempuan. Konsep Grameen Bank yang Yunus kembangkan sejak 1974 di Negara asalnya ini telah memberikan perubahan yang luar biasa dalam upaya menanggulangi kemiskinan yang mayoritas adalah kelompok perempuan.
Di Bangladesh, separuh dari jumlah
penduduk jauh lebih miskin ketimbang petani marginal. Petani yang tidak
memiliki lahan umumnya menjadi buruh harian dengan upah termurah.
Merekalah kebanyakan kaum perempuan, yang jika tidak punya pekerjaan
mereka akan mengemis. Selama 10 jam sehari, kaum perempuan miskin ini
akan mengirik gabah dengan kakinya demi 40 sen atau senilai AS$,4 atau
40.000 Rupiah. Kaum perempuan ini banyak yang menjadi janda karena
suaminya meninggal, cerai, atau suaminya meninggalkannya pergi dengan
meninggalkan anak-anak yang harus diberinya makan.
Hasil sejumlah survei menunjukkan, ada
peningkatan usaha ekonomi dan kesejahteraan keluarga dalam keluarga yang
mendapatkan pinjaman Grameen Bank dengan masyarakat yang tidak
mendapatkan. Dari persentase pekerja di pedesaan yang umumnya hanya 4
persen, di desa Grameeen Bank ada sebesar 5 persen, artinya
meningkat 1 persen. Begitu juga persentase jumlah anggota keluarga yang
bekerja di desa Grameen Bank sebanyak 1,75 orang, sementara di desa
non-Grameen Bank hanya 1,43 orang. Penghasilan rumah tangga nasabah
Grameen Bank lebih besar 28 persen ketimbang bukan nasabah, bahkan jika
dibandingkan dengan rata-rata rumah tangga di desa yang tak ada Grameen
Bank pendapatannya 43 persen lebih tinggi. Hasil studi lain pada 1996
ditemukan ada korelasi signifikan antara keanggotaan Grameen Bank
dan pemberdayaan kehidupan sosial dalam hal penggunaan alat
kontrasepsi; pemberontakan terhadap sistem patriarkal; dan politik.
Artinya, keberadaan Grameen Bank selain membuat ekonomi warga miskin
"menggeliat", secara sosial-politik mereka terberdayakan.
Ada beberapa alasan mengapa konsep
Grameen Bank yang dikembangkan Yunus lebih mengutamakan kepada kelompok
perempuan. Pertama, dari segi ketenagakerjaan, perempuan pada umumnya
bukan tenaga kerja produktif, sehingga dengan bantuan kredit mereka bisa
melakukan usaha produktif di sela-sela mengurus rumah tangganya. Kedua,
secara kultural, perempuan terbiasa mengurus ekonomi rumah tangga
(manajer keuangan), sehingga dia bisa dengan mudah mengelola keuangan
itu dengan baik. Ketiga, secara emosional, perempuan lebih dekat dengan
anak-anaknya sehingga ketika perempuan memiliki penghasilan dia akan
lebih mengutamakan kepentingan keluarganya terlebih anaknya. Sehingga
perempuan menjadi kunci utama dalam pembentukan kualitas sumber daya
manusia anak-anaknya. Keempat, kredit merupakan jembatan emas menuju
persamaan hak perempuan terhadap laki-laki.
Kilas Balik Sejarah Grameen Bank
Pada 1974 Bangladesh yang menjadi Negara kelahiran Yunus mengalami bencana kelaparan yang luar biasa, sehingga menewaskan jutaan penduduk. Sebagai seorang warga Negara juga ekonom, hati Yunus guncang dan dia merasa sangat bersalah karena dirinya sebagai seorang ekonom tidak bisa mempraktikkan ilmunya di masyarakat. Rasa bersalah itu, akhirnya mendorong Yunus bertekad mengabdikan ilmu juga jiwanya demi kepentingan masyarakan Bangladesh yang saat itu terkena bencana.
Kilas Balik Sejarah Grameen Bank
Pada 1974 Bangladesh yang menjadi Negara kelahiran Yunus mengalami bencana kelaparan yang luar biasa, sehingga menewaskan jutaan penduduk. Sebagai seorang warga Negara juga ekonom, hati Yunus guncang dan dia merasa sangat bersalah karena dirinya sebagai seorang ekonom tidak bisa mempraktikkan ilmunya di masyarakat. Rasa bersalah itu, akhirnya mendorong Yunus bertekad mengabdikan ilmu juga jiwanya demi kepentingan masyarakan Bangladesh yang saat itu terkena bencana.
Tekad Yunus semakin kuat untuk membatu
mengatasi kemiskinan di Bangladesh setelah ia mengetahui ada seorang ibu
perajin bambu bernama Sufia Begum bolak-balik berutang kepada tengkulak
untuk mendapat modal membuat bangku dari bambu. Sufia yang tinggal di
desa Jobra dekat Universitas Chittagong tempat ia mengajar, meminjam
uang 5 taka atau kurang dari Rp 850 untuk setiap bangku. Namun, dia
harus mengembalikan utang tersebut (Rp. 850/bangku) berikut bunganya
sebesar Rp 184 (baca: Nilai mata uang 1974). Melihat kasus Sufia, Yunus
bergumam, “Oh Tuhan... hanya karena lima taka dia menjadi budak.
Saya tidak mengerti mengapa mereka harus menjadi begitu miskin padahal
mereka bisa membuat barang kerajinan yang bagus.“
Setelah itu, Yunus dengan dibantu
beberapa mahasiswanya membuat riset kecil-kecilan terkait kasus-kasus
serupa dengan Sufia. Dari hasil riset ditemukan total pinjaman korban
rentenir mencapai 27 dollar AS untuk 42 orang. Lalu Yunus mengelurkan
uang dari koceknya untuk melunasi rentenir. Saat itu, dia yakin jika
orang miskin diberi akses kredit seperti yang diterima orang kaya,
mereka pasti bisa mengelolanya dengan baik. Keyakinan Yunus tidak
meleset.
Tahun 1983, akhirnya Yunus mendirikan bank sendiri bagi kaum miskin bernama ‘Grameen Bank’
atau Bank Pedesaan. Saham dan kepemilikan bank sebagian besar milik
kaum miskin dan hanya sebagian kecil saja dari pemerintah. Dengan
semboyan ‘memberi kail bukan ikannya’ Grameen Bank dalam waktu singkat berhasil meminimalisir kemiskinan di Bangladesh.
Untuk menjamin pembayaran dari para
peminjam, Grameen Bank menggunakan sistem Grup Solidaritas, dimana
sekelompok orang terdiri dari 5 anggota mengajukan pinjaman, dan
kesemuanya bertindak sebagai penjamin. Bila salah satu dari mereka tidak
bisa membayar tanggungannya, maka yang lain harus membantu atau
istilahnya tanggung renteng. Sehingga kemungkinan dana tidak kembali
dari tiap-tiap kelompok sangat minim. Bila satu kelompok telah berhasil
mengembalikan pinjaman, dana yang ada akan digunakan oleh kelompok
lainnya. Dengan sistem ini wajar, Grameen Bank hingga 2007 secara
akumulatif telah memberi kredit sekitar AS$6 miliar, dengan tingkat
pengembalian 99 persen.
Perjuangan Muhammad Yunus dalam upaya
menanggulangi kemiskinan di Bangladesh menjadi inspirasi bagi kita
semua. Sebab penguatan ekonomi bagi masyarakat menjadi hal yang sangat
mendasar. Seseorang bisa jadi anarkis, radikal, bahkan keluar dari
keyakinan karena masalah ekonomi. Semoga ini menjadi perhatian serius
bagi pemerintah juga kita sebagai pegiat hak-hak perempuan dalam
menanggulangi kemiskinan yang makin hari semakin meningkat. Semoga! []
(Diambil dari berbagai sumber)