GEMI SEBAGAI REPLIKASI SISTEM GRAMEEN BANK
Unknown
23.24
0
Berawal dari pengalaman seorang yang bernama Muhammad Yunus.
ketika kuliah di Amerika serikat Ia kuliah di Universitas Chittagong, sebuah
kampus yang letaknya terpencil dan dekat dengan pemukiman kumuh. Waktu itu ia
melihat musibah kelaparan melanda pemukiman dekat kampusnya. Apalagi, ilmu yang
digelutinya adalah ilmu ekonomi. Sangat kontras, di sebuah kampus banyak
mahasiswa mempelajari tentang teori-teori pembangunan ekonomi, tetapi di
dekatnya terdapat bencana kelaparan. Hal yang sama juga bisa terjadi di mana
saja, baik itu di Bangladesh, asal seorang Muhammad Yunus, maupun di Negara
kita, Indonesia. Sebuah kampus yang concern di bidang ilmu Pembangunan dan
Ekonomi, terletak di sebuah populasi penduduk miskin.
Muhammad Yunus mendapatkan inspirasi mendidikan Grameen Bank
dari seorang pedagang kecil. Seorang pedagang kecil yang harus banting tulan
untuk menganyam bamboo, tetapi margin keuntungan tak sebesar hasil usahanya.
Muhammad Yunus lalu mengambil inisiatif untuk meminjamkannya modal kerja yang
dibutuhkan untuk mengembangkan usaha pedagang kecil tersebut, agar tak
terbebani dengan pasokan bahan bambu dimana harganya sudah ditetapkan oleh
makelar.
Muhammad Yunus menyadari bahwa tak hanya satu pedagang yang
mengalami kejadian serupa, tetapi banyak yang bernasib sama. Kemudian ia
memberikan modal sebanyak 42, dimana mereka rata-rata sebagai pedagang kecil.
Muhammad Yunus sering memantau bagaimana para pedagang tersebut menggunakan
modal pinjamannya untuk mengelola usahanya, agar modal yang mereka dapat
dikembalikan. Ternyata tingkat pengembalian hutang mereka rata-rata tepat
waktu, bahkan banyak dari mereka yang mengajukan kredit tambahan lagi untuk
mengembangkan usahanya. Ini lah yang jadi cikal bakal gerakan grameen bank. Sebuah
bank yang diperuntukkan kepada kelompok usaha tak mampu, agar berdaya dan
berkembang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Sasaran bidik Grameen Bank ini sebelumnya tak pernah satu
pun dilirik oleh bank-bank konvensional (lembaga keuangan kredit pada umumnya).
Mereka lebih memilih untuk meminjamkan modal pinjaman kepada usaha besar yang
mempunyai laporan keuangan, dan punya jaminan atas pinjaman. Yang dibutuhkan
oleh bank adalah sebuah kepastian, sehingga jika terjadi kredit macet, bank
berhak mengambil jaminan. Adanya agunan dan laporan keuangan ini lah yang tidak
memungkinkan usaha kecil yang dikelola ibu-ibu untuk meminjam uang di bank
konvensional. Padahal mereka juga membutuhkan modal juga, untuk mengembangkan
usahanya.
Ketiadaan bank untuk kredit kecil, atau sekarang dikenal
dengan ‘microfinance’, menyebabkan munculnya rentenir di wilayah-wilayah
miskin. Mereka meminjamkan uang, dengan bunga sangat tinggi, bahkan sampai 10%
per minggu. Patokan ini dibuat oleh rentenir, karena mereka membutuhkan profit
nyata yang dapat dilihat dengan cepat dengan pembukuan sederhana. Mereka tinggal
mendatangi para “nasabah”nya tiap minggu, sehingga mereka memiliki keuntungan
40% dari modal awal pinjaman mereka. Tidak dapat dibayangkan jika dengan uang
10 juta, misalnya, mereka mendapatkan pengembalian bersih sekitar 4 juta
rupiah. Mekanisme kredit ini terjadi sejak masa dahulu, dulu dalam system kredit
zaman jahiliyah dikenal dengan nama riba ‘adh-‘afan mudho’afah (membungakan
uang dengan cara berlipat ganda hingga menjerumuskan orang miskin, kepada
lembah kemiskinan lagi.
Keberhasilan Muhammad Yunus mengembangkan system perkreditan
kecil kepada beberapa orang, membuatnya semakin percaya diri untuk
mengembangkan system ini lebih besar. Maka ia mengajak para mahasiswanya untuk “magang”
di sebuah desa untuk belajar langsung tentang kemiskinan. Kemudian berkembang
lagi, hingga menyebabkan mengubah cara pandang perbankan sebelumnya yang masih
menutup rapat-rapat dari permodalan usaha kecil.
Mindset yang berkemabng dalam perbankan pada umumnya adalah
orang miskin malas bekerja, tidak dapat mengukur labanya, tidak dapat
mengkalkulasi dan memanaje keuangan, sehingga mereka diragukan kemampuannya
untuk mengembalikan modal tepat waktu. Dari sini , kemudian berkembang ratusan
lembaga kredit mikro, tidak hanay di Bangladesh, melainkan di Negara-negara
lain, termasuk Negara Indonesia. Mereka banyak mereplikasi dari system perbankan
yang diterapkan oleh Muhammad Yunus, kemudian diterapkan di lingkungan mereka.
GEMI adalah salah satu lembaga keuangan mikro, yang mereplikasi system Grameen
Bank.
Hal ini dapat dilihat dari para nasabah GEMI yang rata-rata
adalah kaum pedagang kelas menengah ke bawah. Mereka pada umumnya juga kurang
memiliki akses ke lembaga kredit , semacam Bank KOnvensional. Karena perbankan
masih menerapkan administrasi yang njlimet, dengan kantor yang terkesan ‘wah’
sehingga masih dirasa menjaga jarak dengan para pengusaha kecil.
GEMI juga mempunyai misi kemanusiaan yaitu mengentaskan
kemiskinan dengan cara memberikan bantuan modal kepada pengusaha kecil, dan
sebagai bagian dari perjuangan menegakkan Hak Asasi Manusia. Karena dalam salah
satu butir Hak Asasi Manusia didalamnya tercakup pernyataan bahwa semua manusia
memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses pemodalan untuk usaha. Nilai pemberdayaan
ini lah yang harus tetap dijaga. Untuk itu, para calon nasabah ketika
mengajukan pinjaman, harus lah seorang yang memiliki usaha untuk dikembangkan,
tidak diperkenankan modal pinjaman GEMI digunakan untuk aktivitas non
produktif.